Sabtu, 21 Desember 2013

Sepenggal coretan untuk "Ama"

28 tahun lalu, aku terlahir kedunia fana ini dari rahim mu. Aku di timang dan di rawat sepenuh hati serta tulus jiwa mu. Hari berganti, minggu, bulan bahkan tahunpun berlalu, ketulusan itu tak pernah luntur dan selalu sama. Bahkan untuk ketiga buah hati mu, aku serta dua adikku. Sebuah ketulusan tiada tara.
Sebagai anak sulung, aku minta maaf yang sebesar-besarnya atas segala kekecewaan yang ku  guratkan di hati mu. Teramat dalam gores kesedihan di hatimu karena ulah ku. Dan aku tak pernah mampu menjadi panutan yang baik bagi adik-adik ku. Aku selalu pecahkan segala harapan yang engkau dambakan. Tak pernah mau dan menurut kata-katamu, bahkan sering ku remehkan semua wasiatmu. Meski jauh dalam hatiku, aku setuju apa yang engkau katakan itu benar dan baik untuk diriku.
Yah, beribu luka kekecewaan tak kunjung pudarkan ketulusanmu. Genangan serta tetesan air mata yang mengalir dimatamu, tak kuasa hanyutkan rasa cintamu untuk kami anak-anakmu. Darimulah kutemukan apa itu arti ketulusan, makna sesungguhnya kasih sayang, dan juga pelajaran tentang bagaimana itu setia.
Engkau bekerja dari pagi hingga sore, tapi tak mengabaikan status mu sebagai ibu rumah tangga dan seorang istri bagi suami mu. Kami adalah anak-anak paling beruntung di seluruh dunia ini.
Untuk seorang yang ku sebut "ama" aku berjanji, pada saatnya nanti takkan kusia-siakan dirimu. Hanya itu yang mampu ku janjikan, meski engkau tak mengharapkanku melakukan sesuatu untukmu. Yang engkau harapkan hanyalah kebahagiaan serta kesiapan ku untuk hidup dan kehidupanku. Tapi terlalu tak adil jika hanya terima kasih yang engkau terima dari semua yang telah engkau berikan.
Aku sayang "Ama" dan mungkin saat ini hanya coretan tak bermakna ini yang mampu ku haduahkan untukmu pada hari yang menurut manusia sedunia sebagai hari "ibu". Meski aku tak tahu makna dari pengkhususan hari ini sebagai hari ibu. Tapi dari sini aku pahami, bahwa setiap hari adalah hari ibu. Karena tidak hanya hari ini ibu di seluruh dunia menyiapkan sarapan untuk anak dan suaminya. Juga tidak hanya hari ini seorang ibu datang ke kamar anaknya untuk menidurkan anaknya sambil mengusap penuh kelembutan kepala sang anak.
Ama,, Selamat hari ibu.. Aku sayang ama, maaf sampai saat ini masih menyusahkanmu. Seharusnya aku sudah bisa menjadi Pandu-mu, tapi aku belum bisa. Terimakasih untuk tetesan air susu mu, keringat, kasih sayang, ketulusan, serta kesetiaan hatimu untuk ku. Terimakasih untuk aliran do'a mu yang tak hanya kau panjatkan setiap shalat wajibmu, tapi juga di waktu duha mu, serta tengah malam mu. Dan ku tahu, setiap do'a untukku diiringi tetesan air mata mu. Love you "ama".

Kamis, 19 Desember 2013

Tentang Hujan

Hujan, kotaku kembali di guyur hujan. Dan kini aku berada di ruangan ini, tempat ini (kelas gitar pribadi ku). Sekalabat bayang senyuman itu, tatapan sedikit manja, serta canda tawa itu, jelas terurai satu persatu dengan teratur. Kamu memang telah mencuri segalanya saat itu, dan itu pencurian tersakti. Hanya dengan mata itu kamu meraup segala yang ku punya.
Yah, jujur ku akui bahwa hujan menyimpan banyak cerita tentang kita. Itu bagiku, aku tak tahu bagaimana dimatamu. Apa hujan punya arti atau tidak? Sembilan puluh persen cerita ini ditemani hujan, benarkan??
Hari pahlawan tahun ini, aku berniat melakukan sesuatu yang berarti. Sebuah perjalanan ke situs sejarah, dan kamu bersedia menemaniku. Aku bahagia, saat ku jemput ke rumahmu aku di sambut gerimis kecil dan awan hujan dari arah tujuan kita sangat pekat terlihat.
Kembali, alasan "kepasar" jadi senjata saat pergi. Dan sesaat gerimis berhenti, lalu kita berjalan. Seketika aku mulai ragu menuju tempat itu, ya karena awan hujan terlihat amat jelas dari sana, dan beberapa mobilpun terlihat membawa kenangan hujan dari tempat itu. Aku mencoba menempuh jalur lain, sekedar mencoba mencari alternatif tujuan lain. Tanpa sadar kita pun tetap berada d jalur menuju tempat itu, namun sedikit agak memutar. Dan disana ada keramaian besar-besaran, dan kemacetan panjang pun menjebak perjalanan itu.
Ah, aku tak ambil pusing dengan kemacetan itu. Yah, akhirnya kita berjalan menuju tempat bersejarah itu. Meski sebenarnya banyak yang tidak tahu siapa ia. Kembali ke kisah kita, Udara lembab serta aroma tanah setelah hujan turun amat pekat mengiringi perjalanan itu. Sesampai di sana, semua terasa sangat istimewa, sangat kental suasana keasrian sebuah tempat tumbuh bagi seorang pahlawan besar. Yah, rumah itu rumah mereka yang terabaikan bangsanya sendiri. Dan kamu terlihat amat bahagia dan antusias dengan suasana itu.
Perjalanan pulang kita di balut hujan, ingatkah kamu hujan itu? Hujan yang membuat kita tertawa riang menuju rumah? Yah.. kamu penuh tawa hingga rumah, meski terdengar getaran rahangmu yang kedinginan. 10 November 2013. #rumahpejuangkesepian

Satnite, date kacangan..

Yah malam minggu kali itu kita keluar, awalnya aku mengajakmu sekedar melihat seorang teman ku saja. Dan kebetulan itu malam minggu, sekalian saja aku mengajakmu bermalam minggu.
Memang tanpa tujuan yang jelas, karena aku memang tak terlalu suka dengan suasana kota ini yang menurutku flat. Saat akhirnya kita datang ke suatu kafe "L". Aku memang tak merasa ini sebagai sebuah date, ini hanya sebuah perjalanan di malam hari, seperti malam-malam biasa.
Jadi maaf jika mungkin itu tak berkesan untukmu. Tapi bagiku, segala yang kulalui bersama mu sesuatu yang amat istimewa. Terserah kamu percaya atau tidak, toh sekarang kenyataan nya berbeda.
Malam itu berbeda, karena hujan tak turun. Aku ingat semua kejadiannya, dan saat ku bayangkan aku sering tersenyum. Mengingat tingkahmu. Malam minggu serta date kacangan. Kira-kira itu lah nama yang ku hadiahkan untuk malam itu.

Rabu, 18 Desember 2013

Belajar Gitar

Aku tak tahu sebenarnya mw mu apa. Tiba-tiba ingin belajar gitar dengan ku. Ah, tapi sudahlah aku turuti saja.
Aku juga senang bisa setengah hari bersamamu. Meski dengan modus belajar gitar. Yah.. mungkin aku menikmati saat itu. Saat ku jemput ke rumahmu, selalu saja alasan kita sama "nemenin damoen ke pasar" klu di ingat-ingat alasan kita lucu.. amat lucu.
Mendung iringi perjalanan kita ke tempat itu. Hmm.. asal bersamamu, badai akan ku terjang. Hehehee..
Dan sampai di sana, aku mengajari mu bermain gitar. Mulai dari pengenalan chord, hingga belajar memainkan lagu. Tapi setelah jenuh, kucoba melantunkan beberapa lagu untuk mu. Dan hp mu berbunyi sms dari mama mu menyuruh segera pulang.. aku berterima kasih pada hujan sore itu, ia berhasil menahanmu disana bersamaku.
Yah, setiap kali aku berada d tempat itu aku serasa berada dalam sebuah gedung teater besar. Semua kilasan demi kilasan waktu itu tersusun satu persatu dengan rapinya.
Kau beriku bahagia saat itu. Dan disinilah ku tahu bahwa aku telah terjerembab ke ruang yg lama ku sembunyikan. Terjebak ke dalam ruang paling rahasia dalam hidupku. Dimana pernah satu nama berada di sana. Dan kini tanpa kusadari akupun menuliskan namamu. "Maimoen" (red)

Aku sadari saat itu aku benar-benat tlah jatuh hati padamu. Dan itu ku pelihara tanpa ku pikirkan segala resiko dan konsekwensinya.

Sebuah ruangan di bagian kota ini. September tahun ini.

Sebuah Catatan

Kau kah itu sinta??
Yg mengetuk pintu hati, lalu pergi.. dan saat kubuka pintuku,
hanya bingkisan kecil tentang catatan harian.
Sekelabat catatan itu bercerita tentang ku.
Sebagian lagi tentang pahit nya masa lalu serta kegetiran seorang gadis.
Tak banyak tapi itu terukir di atas sebuah batu.
Dan kita tak pernah pertahankan, meski telah berjuang.
Terlalu banyak tangan2 besar yg menentang nya.. aku tau, ini berat.
Tapi aku tlah melangkah..
Mantra di catatan ini sangat kuat, hingga menyisakan luka bakar di setiap sentuhan.
Lalu ku tulis juga sedikit artimu di sana.
Kini kita pun terlarut, dalam kesunyian masing-masing..
Dan mengeringkan luka luka kecil.
Dan aku (masih), menunggumu kembali mengetuk pintu ini.
Serta menuliskan kembali cerita itu, bersama.

Selasa, 17 Desember 2013

Sepenggal Cerita

Betapa ini mampu menghancurkan segalanya. Berawal dari perasaan yang terkesan menganggap remeh dirimu. Berkembang menjadi sebuah ketergantungan besar bagi diriku.
Entah bagaimana ia muncul, aku pun tak menyadarinya. Segalanya terjadi begitu cepat, dan menyeret ku tersesat amat jauh.
Kau mampu mengetuk pintu itu, sebuah pintu yang selana ini coba ku sembunyikan bahkan dari diriku sendiri. Karena aku takut terjebak dalam pintu itu. Namun nyatanya sekarang kau tlah bawa ku kembali ke tempat itu, di balik pintu yang kau ketuk. Terjebak dan menggigil, udaranya sangat lembab dan penuh dengan bau debu.
Aku coba rapikan ruang tersebut, dan berikan cahaya masuk lewat jendela kecil. Kucoba berdamai dengan masa silam di ruang ini, mencoba membuat coretan baru pada dinding-dinding lapuknya. Dan suasana baru kini tercipta d ruang ini.
Sebelumnya aku pernah takut untuk terus dalam kenyamanan seperti ini, tapi ku ikuti saja alunan panggilan dari dalam nya. Dan sampai pada saat ini, dimana kita harus menentukan pilihan. Ya, saat bermacam tangan besar penuh kendali atas kita memperlihatkan kuasanya. Dan kau nemilih menyerah. Kembali luka menganga lebar di pintu itu, seakan ini lah hasil ego, yang mungkin ku pertahankan atau kau sembunyikan. Semua sirna seperti debu di tiup angin, namun bekasnya hanya aku yang tau. Aku akan menunggu, saat kau kembali dan mengetuk pintu itu lagi. Karena kau tahu persisnya pintu itu dimana. #untuksepenggalkisah