Aku mulai gelisah, mendengar cerita itu. Yah, cerita tentang rencana kepergianmu ke rantau demi mengadu untung juga sekaligus melepaskan kungkungan tempat ini. Disini kau terjerat kenyataan yang sangat susah untuk kau hadapi, semua pernah kau ungkap padaku. Dan hari itu, tepatnya pada hari minggu, kita berdua mencari tiket pesawat untuk keberangkatan mu. Aku tak tahu apa yang sedang kurasakan saat itu, segalanya berputar di sekitarku dengan amat cepat, makin lama makin menyiksa perasaan ku. Saat aku baru mulai merasakan bahagia bersamamu, serta saling berbagi sayang. Yah, baru beberapa saat ini aku merasakan kebahagiaan tak berbatas bersama mu, kini berganti ketakutan akan kehilangan mu untuk sementara waktu.
Sekelabat berbagai pikiran berlalu lalang di kepalaku. Sebagian mendukung keputusanmu, sebagian lain tak rela engkau pergi. Aku tak sanggup berjanji untuk membahagiakanmu, tapi aku berjanji melakukan segala yang terbaik untuk mu, untuk kita. Terkadang muncul kerelaan membiarkan mu pergi, karena aku percaya akan keseriaan mu jika aku bisa setia. Namun aku ragu saat kau selalu menghakimi dirimu sendiri, bahwa kau tak sanggup untuk berkomitmen saat jarak berjauhan. Aku sebenarnya juga sangsi dengan semua itu, tapi aku tak pernah ingin kau pergi dari hidupku. Meski akan berat jalani hari-hari dibalut kerinduan, tapi aku akan berjuang. Karna pada saatnya aku juga akan menyusulmu kesana. Sayang, maukah kamu untuk tetap berpegang tangan saat kita tak seiringan? Layaknya sepasang rel kereta api, meski tak bertemu mereka selalu menuju tempat yang sama serta kesetiaan untuk berdampingan.
Uda sayang Awen, uda ingin bersama awen dan mempeejuangkan segalanya. Karna awen adalah satu-satunya mimpi yang tersisa saat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar